Transendensi dalam Novel Advencer Si Peniup Ney Karya Faisal Tehrani [Transcendence in the Novel Advencer Si Peniup Ney by Faisal Tehrani]

Abstract

Makalah ini membincangkan sebuah novel berjudul Advencer Si Peniup Ney karya Faisal Tehrani yang mengungguli tempat pertama Kategori Novel Remaja dalam Hadiah Sastera Kumpulan Utusan 2004. Kisah pengembaraan dakwah seorang remaja lelaki bersama-sama sekumpulan 40 jin ke negeri Fantasia yang sedang menuju kehancuran lantaran dilanda budaya hedonisme menjadi persoalan yang diangkat dalam karya ini. Bagi meneliti sebuah novel remaja yang dihasilkan oleh seorang pengarang mapan yang prolifik menghasilkan karya-karya sastera berunsur Islam, sebuah gagasan “sastera Islam” yang diutarakan oleh Kuntowijoyo dari Indonesia dijadikan sebagai kerangka analisis. Gagasan tersebut iaitu Gagasan Sastera Profetik yang bertitik tolak dari ayat 110 surah Ali Imran menggariskan tiga etika, iaitu humanisasi (amar makruf), liberasi (nahi mungkar) dan transendensi (keimanan kepada Allah) sebagai tunjangnya. Gagasan Sastera Profetik memilih pendekatan strukturalisme bagi membolehkan penerapan ajaran sosial yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah dimanfaatkan untuk konteks sosial zaman kini. Menurut Kuntowijoyo lagi, sekiranya ketiga-tiga etika Profetik ditemui terkandung dalam sesebuah karya, maka karya tersebut dianggap mencapai kaffah yang membawa maksud menyeluruh atau memiliki keutuhan. Namun makalah ini hanya akan memfokuskan kepada etika transendensi sahaja. Dapatan analisis kajian memperlihatkan novel ini sebagai sebuah karya sastera moden yang memiliki etika transendensi yang menjadi tuntutan dalam sebuah karya sastera Profetik.

This paper discusses a novel titled Advencer Si Peniup Ney by Faisal Tehrani, which won first place in the Youth Novel Category of the 2004 Utusan Literary Award. The story presents a young man's da‘wah journey alongside a group of 40 jinn to the land of Fantasia, a nation on the brink of destruction due to the influence of hedonistic culture. To examine this youth novel by an established and prolific author known for Islamic-themed literature, the framework of "Islamic literature" proposed by Kuntowijoyo from Indonesia is employed. This concept, known as the Gagasan Sastera Profetik, is based on verse 110 of Surah Ali Imran and outlines three core ethics: humanisation (amr ma'ruf), liberation (nahi munkar), and transcendence (faith in Allah) as its foundation. The Prophetic Literature framework utilises a structuralist approach to allow the social teachings found in the Qur’an and Sunnah to be applied to contemporary social contexts. According to Kuntowijoyo, if all three prophetic ethics are present in a literary work, the work may be considered to have achieved kaffah, meaning holistic or possessing integrity. However, this paper focuses solely on the ethic of transcendence. The findings of the analysis reveal that the novel represents a modern literary work that upholds the ethic of transcendence, which is essential in prophetic literature.